Senin, 12 Juli 2010

Anggota DPD Serap Aspirasi Soal Kenaikan TDL

Andi Indra, (13/7/2010) Palu - Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang mulai diberlakukan sejak 1 Juli 2010, menjadi salah satu bahan materi utama bagi angggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, saat melakukan reses ke daerah pemilihannya.

Dalam kunjungan kerja masa reses, Anggota DPD RI daerah pemilihan Sulawesi Tengah, Hj Nurmawati Dewi Bantilan SE, dihadapan tokoh masyarakat dan pemuda yang dilaksanakan di Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, pekan lalu, mengatakan tujuan kedatangannya untuk menyerap aspirasi dari para konstituen menyangkut
dengan kebijakan-kebijakan nasional maupun perundang-undangan. Khususnya lagi menyangkut dengan kenaikan TDL sebesar 18 persen bagi pelanggan diatas daya 900 watt yang mulai berlaku sejak 1 Juli lalu.

"Kita ingin tau seperti apa pandangan masyarakat di daerah terkait dengan kenaikan TDL. Kalau ada masukan, kita terima dan akan disampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan pada rapat paripurna di DPD"demikian disampaikan Nurmawati.

Seperti diketahui, pemerintah pusat memberlakukan kenaikan TDL dengan model baru per 1 Juli2010 lalu. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan ENERGI dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2010 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero). Berdasarkan Permen ESDM itu, tarif listrik yang tidak mengalami kenaikan yakni pelanggan dengan daya 450, 900 dan 6.600 VA.

Selain membahas soal kenaikan TDL, Nurmawati yang saat ini duduk di komite IV DPD RI yang membidangi soal APBN, dana perimbangan keuangan pusat daerah, dan pajak, juga membahas mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Nurmawati meminta pandangan dan masukan mengenai realisasi APBN ke daerah. Dalam hal pengawasan soal APBN dan penyaluran dana dekonsentrasi ke daerah, DPD RI telah melakukan kerja sama dengan BPK. Hal tersebut, lanjut Nurmawati sebagai upata pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang direalisasikan ke daerah, terangnya.

"Bukan hanya persoalan TDL saja, tapi semua permasalahan daerah yang menyangkut dengan kebijakan nasional silahkan disampaikan"tandas Nurmawati.**

Masa Reses, Anggota DPD RI Audiens dengan FPP Sulteng


Andi Imran Hamid, (13/7/2010) Palu- Ditengah masa reses, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, daerah pemilihan Provinsi Sulawesi Tengah melakukan tatap muka (audiens, red) dengan pengurus
Forum Pemberdayaan Perempuan (FPP) Provinsi Sulteng dan organisasi kepemudaan.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan di Jalan Rajawali, Kecamatan Palu Selatan, (Rabu (7/7), lalu, beberapa hal yang dibahas diantaranya menyangkut soal kesetaraan gender hingga pada penguatan kaum perempuan dalam berbagai bidang.

Anggota DPD RI, Hj Nurmawati Dewi Bantilan SE, dalam pemaparannya dihadapan puluhan kaum perempuan mengatakan pada dekade ini (pemilu 2009) diskusi-diskusi tentang wacana kesetaraan gender di media massa semakin marak dan terbuka. Mulai dari pengarus utamaan gender, Gender in development, gender in parlement, perempuan dan pelestarian lingkungan, serta perempuan dan konflik.

Bersamaa dengan maraknya diskusi tentang kaum perempuan, lanjut Nurmawati, wacana tentang penguatan peran perempuan dalam berbagai bidangpun semakin maju pesat.
Perlu diketahui, bahwa jumlah penduduk perempuan ditanah air lebih banyak, dan dampak dari kebijakan yang tidak pro rakyat semakin meminggirkan perempuan dalam kehidupan sosial.

“Harapan kita bersama tentunya, dengan banyaknya jumlah penduduk perempuan, akan semakin besar pula keterwakilan perempuan dalam parlemen, dan kebijakan Negara kita akan semakin responsive gender,”ujar Nurmawati.

Menurut Nurmawati, wacana perempuan dan politik masih terjebak dalam perdebatan tentang partisipasi dan representasi, yang mengarah pada indikator normatif kuantatif. Kuota 30 persen untuk reprensentasi politik perempuan, adalah salah satu indikator tersebut. Sebagai afirmative action (tindakan khusus), kuota memang tak boleh melupakan kualitas dari representasi tersebut.

Oleh karenanya, wacana tentang perempuan dan politik mestinya diletakkan dalam konteks penghormatan terhadap martabat kemanusian kaum perempuan. Itulah sebabnya dalam agenda gerakan perempuan, politik adalah seluruh idiom yang berhungan dengan kehidupan perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik.

“Jadi, dialektika perempuan dan politik mestinya tidak hanya berbasis pada material partisipasi dan representasi, melainkan seluruh aspek, termasuk sejarah patriarki yang menjadi dasar ideologi penindasan terhadap perempuan,”terang mantan Ketua KNPI Sulteng ini senada menyebutkan bahwa perempuan dan politik adalah dialektika terhadap seluruh aspek dalam hubungan dan dinamika sosial, mulai dari rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara.**