Minggu, 01 November 2009

Dari Workshop Serikat Perkerja AJI Palu


Lahirkan Rekomendasi untuk Kesejahteraan Pekerja Pers di Kota Palu

Palu- Workshop Serikat Pekerja (SP) yang bertema Pentingnya Serikat Pekerja, untuk Meningkatkan Kesejahteraan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu di Restoran Kampoen Nelayan, Sabtu (30/10), melahirkan beberapa rekomendasi tentang pentingnya pendirian Serikat Pekerja Media dalam sebuah perusahaan pers.

Diantaranya, menyusun upah layak jurnalis Palu, memberikan pemahaman bagi pemilik perusahaan pers tentang pentingnya serikat pekerja dan kesejahteraan para pekerja media, melakukan survey gaji jurnalis di Kota Palu, membentuk serikat pekerja di masing-masing media, membuat forum regular pertemuan untuk mendiskusikan tentang serikat pekerja, menggandakan materi pendirian serikat pekerja, membuat artikel pengalaman dan manfaat adanya serikat pekerja media di harian Mercusuar, serta membuat jaringan melalui milis.

Rekomendasi ini nantinya akan menjadi agenda prioritas yang akan diprogramkan oleh AJI Palu dibawah kepemimpinan Ridwan lapasere dan M Subarkah, sehingga nantinya dengan dibentuknya serikat pekerja di perusahaan pers akan memberikan dampak positif bagi para pekerja pers (wartawan, red) dan perusahaan pers itu sendiri pada khususnya.

Dari data yang dihimpun oleh AJI Indonesia, jumlah serikat pekjerja pada perusahaan pers baik media cetak, elektronik, maupun media on line, tidak sebanding dengan jumlah perusahaan media yang ada. Hal tersebut diakibatkan karena kurangnya pemahaman dan sinergitas pemilik perusahaan pers dan pekerja pers itu sendiri tentang pentingnya pendirian serikat pekerja dalam perusahaan pers itu.

Pemilik perusahaan ataupun pekerja pers menganggap dengan adanya serikat pekerja dalam perusahaan pers akan menimbulkan gesekan antara karyawannya karena serikat pekerja dianggap sebagai tukang bikin kisruh di perusahaan, suka menuntut dan membuat disharmoni hubungan kerja. Bahkan, terkadang kerap digambarkan bahwa aktivis serikat juga cenderung jeblok di dalam pekerjaannya.

Disisi lain, belum banyaknya contoh kemenangan yang berhasil diraih serikat pekerja media membuat mayoritas pekerja media enggang untuk bergabung dalam sebuah serikat. Mereka menganggap belum ada pekerjaan kongkret berjuang melalui serikat.

Berdasarkan catatan AJI yang dipaparkan oleh Koordinator Devisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, Winuranto Adhi, dalam workshop yang dihadiri sejumlah perwakilan media yang ada di kota ini, ada beberapa cara yang lazim dilakukan untuk menghambat berkembangnya serikat pekerja media antara lain mengahalang-halangi pekerja untuk bergabung dalam serikat, mengintimidasi pekerja, memutasi pengurus atau anggota serikat, memutuskan hubungan kerja, membentuk serikat boneka, menolak diajak berunding Perjanjian Kerja Bersama (PKB), serta membuat peraturan perusahaan sepihak.

Dari beberapa contoh kasus diatas, kata Winurantho, yang juga pernah menjadi kontributor media nasional itu, hal tersebut sudah pernah terjadi di salah satu media nasional yang ada di negara ini. Bahkan, untuk menghambat perkembangan serikat tersebut dalam perusahaan pers itu, pihak manajemen melakukan mutasi di perusahaan media itu terhadap anggota serikat keluar daerah yang ujung-ujungnya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Faktanya, dalam undang undang telah menjamin kebebeasan untuk berserikat dalam sebuah perusahaan entah itu perusahaan pers. Bahkan, hak untuk berserikat telah diakui oleh kalangan internasional. Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization, ILO) menelorkan Konvensi 87 yang menyebutkan pekerja/buruh memiliki hak mendirikan atau bergabung dengan organisasi yang mereka pilih.

Konvensi ini, telah diratifikasi 97 negara termasuk Indonesia pada tanggal 9 Juni 1988. Dan hak berserikat ini diperkuat Konvensi 98 ILO yang menyatakan buruh/pekerja harus mendapatkan proteksi terhadap tindakan diskriminasi anti-serikat di tempat kerjanya. Bahkan Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/buruh, ujat pria berambut gondrong itu.

Pada dasarnya, menurut, Winurantho, keberadaan serikat pekerja dalam sebuah perusahaan pers itu tidaklah seburuk dari apa yang sudah dicontohkan diatas, meski serikat pekerja lebih berpihak pada persoalan kesejahteraan seorang buruh (jurnalis, red), namun, hal tersebut memiliki dampak positif terhadap perusahaan media itu sendiri.

Dengan adanya serikat pekerja dalam sebuah perusahaan pers, akan meningkatkan posisi tawar antara pekerja dengan pemilik perusahaan. Serikat pekerja juga mempunyai peran penting dalam meberikan usulan penjenjangan karir, pengupahan, atau standar operasi lainnya. Secara positif, serikat pekerja dapat menggenjot produktifitas dan profesionalisme, wadah penyaluran aspirasi, alat perjuangan meningkatkan kesejahteraan serta media solidaritas dan advokasi pekerja.--07--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar